Nama : Eslida Rumapea
Npm :2210443
Kelas :2eb22
CONTOH KASUS
HUKUM PERJANJIAN
Karyawan Dipaksa Menandatangani Perjanjian
Disertai Ancaman Hukum
Nama saya Warni, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Sejak duduk dibangku sekolah, saya selalu diajarkan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, yang menempatkan hukum sebagai hal tertinggi, menjamin pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM), dan menjalankan pemerintahan berdasarkan undang-undang. Dimana pemerintah memiliki keleluasaan untuk memberikan perlindungan atas hak-hak kebebasan sipil warga negara dari tindakan kesewenang-wenangan.
Menurut pendapat saya, seharusnya hal ini dijadikan acuan oleh semua perusahaan di Indonesia, baik perusahaan asing maupun local dalam menjalankan usahanya. Namun kenyataan berkata lain, saat ini banyak perusahaan yang memberlakukan peraturan kerja yang mengikat, yang melarang karyawan untuk bekerja di perusahaan pesaing disertai dengan ancaman hukum.
Contoh kasus yang terjadi baru-baru ini, dapat dilihat pada suara pembaca detik.com tanggal 12 April 2011 yang berjudul “Dipaksa Menandatangani Perjanjian Disertai Ancaman Hukum.” Yang menceritakan kisah LB, karyawan perusahaan portal lowongan kerja yang berkantor di wilayah Slipi, Jakarta Barat. Meskipun LB berstatus karyawan di perusahaan asing tersebut, LB tidak menerima gaji sebagaimana layaknya karyawan di perusahaan sejenis di tempat lain, karena setiap bulannya LB hanya menerima kompensasi apabila ada penjualan. Singkat cerita, karena LB memutuskan untuk meninggalkan perusahaan tersebut dan bergabung dengan perusahaan lain di industri yang sama, General Manager (GM) perusahaan asing tersebut melarang LB untuk pindah ke perusahaan lain, dan ’memaksa’ LB menandatangani surat perjanjian. Bahkan LB berkali-kali diancam akan diseret ke meja hijau oleh perusahaan asing tersebut.
Kalau sudah begini keadaannya, saya jadi mempertanyakan peranan Pemerintah khususnya departemen Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia yang memperjuangkan kesejahteraan hidupnya dan keluarganya? Apakah kekuasaan yang dimiliki oleh kaum kapitalis di Indonesia dapat mengontrol atau bahkan membukam pemerintah? Padahal, apabila kita berpedoman pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” seharusnya kasus LB tidak pernah terjadi di Indonesia.
Menurut pendapat saya, seharusnya hal ini dijadikan acuan oleh semua perusahaan di Indonesia, baik perusahaan asing maupun local dalam menjalankan usahanya. Namun kenyataan berkata lain, saat ini banyak perusahaan yang memberlakukan peraturan kerja yang mengikat, yang melarang karyawan untuk bekerja di perusahaan pesaing disertai dengan ancaman hukum.
Contoh kasus yang terjadi baru-baru ini, dapat dilihat pada suara pembaca detik.com tanggal 12 April 2011 yang berjudul “Dipaksa Menandatangani Perjanjian Disertai Ancaman Hukum.” Yang menceritakan kisah LB, karyawan perusahaan portal lowongan kerja yang berkantor di wilayah Slipi, Jakarta Barat. Meskipun LB berstatus karyawan di perusahaan asing tersebut, LB tidak menerima gaji sebagaimana layaknya karyawan di perusahaan sejenis di tempat lain, karena setiap bulannya LB hanya menerima kompensasi apabila ada penjualan. Singkat cerita, karena LB memutuskan untuk meninggalkan perusahaan tersebut dan bergabung dengan perusahaan lain di industri yang sama, General Manager (GM) perusahaan asing tersebut melarang LB untuk pindah ke perusahaan lain, dan ’memaksa’ LB menandatangani surat perjanjian. Bahkan LB berkali-kali diancam akan diseret ke meja hijau oleh perusahaan asing tersebut.
Kalau sudah begini keadaannya, saya jadi mempertanyakan peranan Pemerintah khususnya departemen Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia yang memperjuangkan kesejahteraan hidupnya dan keluarganya? Apakah kekuasaan yang dimiliki oleh kaum kapitalis di Indonesia dapat mengontrol atau bahkan membukam pemerintah? Padahal, apabila kita berpedoman pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” seharusnya kasus LB tidak pernah terjadi di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar